Kesejatian Hidup dan Kehidupan
1.
“Rahasia
kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau
sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu
sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu
Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia
kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga:
hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual
tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada
pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau
ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan
Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
2.
“Adanya
kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan
oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut
merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh
hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.”
(Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan
adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah
manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam
hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan
antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang
dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti
Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan
atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud.
Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya
memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti
Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah.
Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah.
” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.