Syahadat
22.
Inilah
maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah;
bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian
kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti
Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep
utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran
shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar
ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan
kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi
kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan
mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan
ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh
Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan
Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka
kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa
kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir
sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna
kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati
sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang
lunga padha rupane, dap lap ilang,”(Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat
menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid
ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta
nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat.
Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan
Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa)
maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini
kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa
(kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh
al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni
pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana
ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi
kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan
berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan
Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang
Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang
perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh
Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat
tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang
teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti.
Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
23.
“Mengertilah,
bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih
mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya
mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus
gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya
sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning
owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah,
kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra
Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah
Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata
penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan
dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup
sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam
keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap
hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat
raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat
atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu
ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri
dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang
menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka
orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan
saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan
sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang
terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih
ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal
harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur
juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun
syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan
harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya
cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut,
menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
24.
“Syahadat
Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya
dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati,
kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.”
(syahadat Allah, Allah, Allah badan
lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna
kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak
terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika
(menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut
lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung
kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs
dalam dirinya mengalami kasyf.
25.
Ashadu-ananingsun,
la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging
Ingsun, kang badan nyawa kabeh”
(ashadu-keberadaanku, la ilaha –
bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku,
yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati.
Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja,
di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan
yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti
pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
26.
Sakarat
pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing
ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah
kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat
albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan
Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung
kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian,
maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara
diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag,
kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan
iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah
shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat
sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula)
yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.” Ini adalah Syahadat Sakarat
Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang
tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan “syahadat
sakarat wiwitane pati” ini.
27.
“Ashadu
ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya
tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing
sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine,
angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang
menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia
tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah
Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang
musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati
secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada
hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian
manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa
kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam
arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh
Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki
alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang
tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju
asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan
sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya
syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju
kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian
oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau
kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana
yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu
aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam
ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang belum
mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak
bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran
kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman
kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui
lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian
manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya
dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati,
urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
28.
“Syahadat
Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi
pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh
Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma
kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad
Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang
menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya
kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku
adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna.
Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad
Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat
netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak
berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat
yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan
tauhid al-wujud.
29.
“Ini
adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
a.
Ketika roh
keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan
syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
b.
Kemudian,
ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha
illa Anta”.
c.
Kemudian
roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
d.
Maka
kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya
keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat
banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun.
Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan
kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam
proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh
sifat setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha,
bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating
nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu
menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang
berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku
manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian
bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk
dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan
sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama,
ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu
mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir sama
dengan ajaran Syuhrawardi.