Tafsir Kisah Musa dan Khidir (Syekh
Siti Jenar)
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah
sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg
disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu
bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut
perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na),
perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr
al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah
perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam
kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh
jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu,
kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu,
merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan
pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami
Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim,
bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia
adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS
sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam
Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan
Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah
perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani
itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan
wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya,
jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan
tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan,
maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu
lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan
bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan,
kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di
dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa
melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya,
ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam
tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa
dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan
di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan
maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara
kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya
itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar
maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak
sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS
tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam
tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong
yg tidak bisa dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg
mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari
terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda
(al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib
yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa
kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu
dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan
perlambang keterbukaan hijab ghaib.” “Adapun bekal makanan yg berupa ikan
adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna
untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran
sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup
hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga
ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS
memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu
bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda
tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi
maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.” “Ternyata, Nabi Musa AS tidak
peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu
melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan
kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani
zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg
dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra
ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang
Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada
Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’
al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di
antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan
antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan
Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS
itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang
yg tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke
jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan
Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha
Menunjuki (as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik
melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid
sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di
lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna
(bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud).
Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti
perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda
kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang.
Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda
sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas,
pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami
Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah
perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan
memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan
menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu
adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan
awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih).
Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah
perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu
(syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu
dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal
air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang
itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan
permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian
perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha
Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah
demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan
perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap
penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti
penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha
Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan
diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan
Yang Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa
wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan
menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.” “Sebab,
wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman
menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak
jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal
manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di
alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn
akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat
perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci
(syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa
alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh
tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak
lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql)
melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah).
Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada
kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa
kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita
mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA
pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah
kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan
tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya
dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir
AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut. “Anak
adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang
yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg
kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu
harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan
rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg
kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya
terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke
dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap
kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu
dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat
dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul,
pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).” “Sesungguhnya, keakuan
kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg
cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan
berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia
dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah
perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS
‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman
(mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan
Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut
juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah
pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut
dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan
Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim
(ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi
Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani
(roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah
berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad)
dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu
adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin
Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg
salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan
, adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah
al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg
telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi :
60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam
dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya
satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama
keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg
tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur
Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala
Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS
berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi
perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg
shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal
(al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya
satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan
terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia
sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan
pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa
diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi,
harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”