Asal
usul syekh siti jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun
829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka
Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan
Museum, Jakarta, 1972 : P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara,
Jakarta, 1972 : H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976 : Agus
Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan
Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004 : Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976 : Babad Banten :
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941: raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817),
dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang
lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan
yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban
berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti
Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan
tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang).
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang).
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia
lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke
Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil
oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama
kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah
putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi
bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid
‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul
Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi
kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah
distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra
Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa
al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai
pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama
Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut
keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali
bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa
ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg
sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah
Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi
penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh
Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana
‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh.
Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka
yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg
sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi
kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah.
Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan
Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk
Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih
berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang
Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar
di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi,
putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal
tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti
Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah
atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh
datuk Kahfi. Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih
jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur
Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai
basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri
Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh
Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam
bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali
mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn
pendidikan otodidak bidang spiritual.