Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela
samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San
Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati,
agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut
sebagai musu(h) alit [musuh halus.
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini,
San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf,
balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi
santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke
Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur
Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan
Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun
penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok
dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia
bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg
dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh
Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya
Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah
suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia.
Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan
karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani
tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak
Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal)
ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala
adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur
ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari
segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan
pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati,
sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa
tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar
berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini,
San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg
dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian
dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan
perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun
Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis
dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb
dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia,
sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi
saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat
setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk
Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali
dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia
nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan
tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik
(pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah
kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia);jurang futur (nafsu
menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa
dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba
sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual
dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan
nurani).