Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang gemar dengan
ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami dalam
konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat
sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia
berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari,
sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya.
Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan
dan kesejatian Tuhan."
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan
jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung
dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya
itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun
tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela,
tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni,
membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia
lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur
kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu.
Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu.
Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara
Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang
demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak
berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan
berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal
salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala."
"Pemikiran saya sejak kecil,
Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan
waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran
saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau
haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam
itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya
besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa.
Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif,
akan menjadi berantakan....Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif
adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan
Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat.
Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang
memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus
dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang
Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada
lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari'at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat
Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu
itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan
merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan
pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu,
merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang
keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang
benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan
dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji.
Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir
sejati, laa ilaaha illallah.” Malang Sumirang, Pupuh 4>
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang salah menemui
ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap,
segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah
diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan
yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar
biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan
yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia
masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia
akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat
manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi
ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada
kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar
betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat
dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain.
Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur
dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”