Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti
Jenar
37.
“Adapun
asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di
bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari
Muhammad : roh, napas
Yang dari
Malaikat : budi, iman
Yang dari
Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan
Yang dari
Ibu : kulit, daging, darah, bulu
Yang dari
Bapak : tulang, sungsum, otot, otak
Inilah
maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak
kecuali dzat Allah yang tidak rusak.
Kitab
Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi,
yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat
“kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun
illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya
(penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah
Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur
mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa
wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam
memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini
diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh
Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang
saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur
Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat
dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia
(seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan
pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan
itu, manusia bisa manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian
manusia yang melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di
alam kematian dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
38.
“Kehilangan
adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki
apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan
apa-apa.” .
Hakikat
Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah
perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi
kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia
telah berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa,
otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini,
sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara
makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia)
tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari
ketunggalan.
Orang yang
masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil
menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya,
yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal.
Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju
kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
39.
“Jika
engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau
terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat
seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia
telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus,
hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa
saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi
pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang
tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada
hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula
yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua
itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya.
Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu
di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa
melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh
darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari
diri orang-orang yang terdekat denganmu.” .
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar
sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh
Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama
al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli dengan
berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya. Demikian
pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar
jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena perilaku serta
kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’
Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir
dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu adalah
perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain
adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung
terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian
dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah
perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti
bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan,
sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita
harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab
banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya
itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.