Home » » Pola Pengajaran Ilmu Hening

Pola Pengajaran Ilmu Hening

Perseteruan Ilmu Hening dengan Kerjaan Demak
Setelah kelompok orang Islam dapat mendirikan Negara, yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Bintoro ( Demak ), Kemudian muncul larangan keras bagi orang Jawa tidak boleh menerapkan pengetahuan pasamaden, demikian juga , diharuskan untuk meninggalkan agama lama, dan harus masuk Islam.
Akan tetapi, walau demikian, tidak serta merta bangsa Jawa kemudian mau secara sukarela memeluk Islam semua, kemauan memeluk Islam itu lebih disebabkan karena takut hukuman pejabat Negara ( Sultan ). Jadi Islam nya hanya berada pada tataran permukaan, atau Islam pengaran – aran ( Islam KTP ), sedangkan secara batin dan perilaku masih tetap memegang kepercayaan lama. Maka masalah pengetahuan pasamaden tetap banyak dilaksanakan, hanya saja pengajaran dan penyebaran ilmu pasamaden yang dinamakan wejangan ( wijang-wijang ) dilaksanakan secara diam-diam, sedangkan pelaksanaan laku hening dilakukan pada tengah malam, serta tempat pelaksanaannya bukan pada tempat terbuka, seperti tanah lapang, hutan, sungai dan sebagainya tempat yang sepi. Wejangan diberikan secara berbisik, tidak boleh didengar orang lain, termasuk rumput dedaunan, hewan, sebangsa gegremetan ( melata ), kutu, wereng dan sebagainya. Oleh karena itu posisi duduk guru berhadap-hadapan langsung dengan mengadu jidat dengan para murid. Sedangkan bagi guru harus betul-betul berwasiat agar para murid tidak boleh menularkan wewejangan pengetahuannya kepada orang lain, kalau belum diberikan izin guru, kalau melanggar akan mendapatkan akibat kemurkaan Pangeran. Tindakan seperti itu pada mulanya hanya digunakan untuk menjaga diri dan hati-hati, agar pengajaran ilmu tersebut tidak ketahuan oleh pejabat pemerintahan. Sebab kalau ketahuan akan mendapatkan hukuman.




Pola Pengajaran Ilmu Hening
Sampai pada zaman sekarang, walaupun Negara sudah tidak mengharu-biru terhadap wewarahan pasamaden, namun tindakan memberikan pelajaran secara sembunyi-sembunyi masih tetap dilestarikan. Oleh karena itu, kemudian pengetahuan pasamaden diberikan sebutan oleh mereka yang tidak menyukai ilmu pasamaden, atau orang Islam yang hanya menerapkan syaria’at Islam saja, sebagai Ilmu klenik. Setelah muncul istilah ilmu klenik, kemudian dibuat sekarang dengan istilah abangan dan putihan. Yang disebut abangan adalah mereka yang tidak melaksanakan syariat Islam secara ketat, sedangkan istilah putihan digunakan bagi mereka yang memeluk Islam secara ketat serta melaksanakan aturan syariatnya, yang juga disebut dengan nama Santri. Oleh karena itu santri disebut putihan, karenan menurut anggapan orang-orang Islam, santri dalam segala sesuatu merasa lebih bersih atau suci dibanding orang yang tidak memeluk dan melaksanakan aturan agama Islam.
Kembali kepada masalah pengetahuan pasamaden yang penuh dengan kerahasiaan, karena yang menjadi sebab telah diutarakan diatas. Tetapi sebetulnya, yang dinamakan rahasia-rahasia tersebut memang tidak ada. Jadi boleh saja diajarkan kepada semua orang, siapa saja, tidak memandang tua muda, dan boleh diwejangkan sewaktu-waktu, asal memang orang tersebut membutuhkan pengetahuan pasamaden tersebut. Sebab adanya semua itu perlu agar bisa diketahui oleh orang banyak, lebih-lebih pengetahuan pasamaden itu senyatanya memang pembuka semua pengetahuan. Maka wajib disebarluaskan kepada semua lapisan masyarakat tua muda, tanpa memandang tinggi rendahnya derajat.