Syekh
Siti Jenar : Bapak Ilmu Hening Jawa
Bersamaan dengan berkembangnya masa,
kemudian terjadi keelokan dari ilmu laku yang tidak disangka-sangka. Dikemudian
hari pengetahuan pasamaden tadi muncul diterima oleh kalangan orang Islam,
sebab yakin kalau pengetahuan pasamaden tersebut memang menjadi mustikanya
keinginan dan cita-cita yang dapat mendatangkan keselamatan, kemuliaan,
ketenteraman dan hal-hal semacamnya. Oleh karena itu pengetahuan tadi oleh
orang-orang yang sudah mendapatkan pencerahan batin yaitu Syekh Siti Jenar,
yang juga menjadi pembimbing agama Islam berpangkat wali, kemudian tercantum
didalam karya seratnya, yang kemudian disebut dengan daim, yang berasal dari
kata daiwan yang disebut diatas. Kemudian juga menjadi bagian dari sarana
manembah (penyembahan), sambil diberi tambahan julukannya, kemudian muncul
istilah shalat daim ( shalat bahasa Arab, daim dari kata daiwan bahasa
Sansekerta ). Adapun kemudian ditambahi istilah Arab, hanya untuk perhatian
untuk mengukuhkan keyakinan murid-muridnya yang sudah meresapi agama Islam.
Juga perkataan shalat kemudian terpilah menjadi dua perkara. Pertama, shalat
lima waktu, yang disebut shalat Syariat, maksudnya adalah panembah lahir.
Kedua, shalat daim, itu adalah panembah batin, maksudnya adalah menekadkan (
meng -I’tikadkan) manunggalnya pribadi, atau disebut pula loroning atunggal (
dua yang menyatu [Kawula-Gusti, Ingsun-Gusti] ).
Kitab karangan Syekh Siti Jenar
tersebut kemudian digunakan sebagai pokok pengajaran. Kemudian setelah
mendapatkan perhatian orang banyak, sholat lima waktu dan syara agama yang lain
kemudian terpinggir, bahkan kemudian tidak terajarkan sama sekali. Yang menjadi
perhatian hanya lelaku shalat daim saja. Maka orang jawa yang semula memeluk
Islam, apalagi yang belum, hampir semuanya berguru kepada Syekh Siti Jenar,
karena pengajarannya lebih mudah, jelas, dan nyata.
Sesudah Syekh Siti Jenar mengajarkan
pengetahuan pasamaden, sebagai teman diskusi dan bertukar pikiran adalah Ki
Ageng Pengging, yang kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar
adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi
muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki
Ageng Pengging. Pengetahuan pasamaden oleh Syekh Siti Jenar juga diajarkan
kepada Raden Watiswara, atau Pangeran Panggung, yang juga berpangkat wali.
Kemudian juga diajarkan kepada Sunan Geseng, atau Ki Cakrajaya, yang semula
bekerja menderas kelapa, (menjadi murid Sunan Kalijaga, termasuk anggota
walisanga yang ikut menyaksikan dihukum matinya Syekh Siti Jenar, lalu berguru
kepada Sunan Panggung). Asalnya dari Pagelen (Purworejo). Kemudian ajaran
tersebut menyebar diamalkan oleh orang banyak. Demikian juga sahabat-sahabat
Syekh Siti Jenar yang sudah terbuka rasanya oleh Syekh Siti Jenar kemudian
mendirikan perguruan-perguruan pengetahuan pasamaden. Semakin lama semakin
berkembang pesat, sehingga menyuramkan pengaruh dan penguasaan agama para wali
yang sedang giat-giatnya menyerbarkan Islam syara’. Seandainya gerakan itu
dibiarkan oleh para wali, terdapat kekhawatiran masjid akan kosong.