Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya
merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan
Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke
Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah. Dalam perjalanan ini, dari
pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad
al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu
menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan
af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg
tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada
hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui
dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja
dalam dirinya. Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan
dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan
itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi
perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru
perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja
melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga
sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada
hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg
maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang
di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan
sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab
ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan
kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula,
Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal
sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan
mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922),
al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab
al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi
(w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi
(1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab
tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan
periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga
saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi
komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg
dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar
adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil
al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia
Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga
kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim
al-Jili. Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak
sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu
sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor,
jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh
paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses
pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara
praktis/’amali al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu
‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa
ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang
dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn
pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada
akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan
nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya,
yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan
waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai
sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik
spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai
bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa
itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi
sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual
dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya
potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini
seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia);
dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat
tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh
al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg
membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan
berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar
mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj,
Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan
dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan
menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha
illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku,
tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya
mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli
Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar
lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man
‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti
Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana
sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti
Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi
(560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb
mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga
dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan
sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.