AJARAN YANG DISEBARKAN PARA MURID
DAN
PELAKSANAAN ILMU KASAMPURNAAN
Metode dan Pokok Ajaran Syekh Siti
Jenar
1.
“Semua
ajaran yang disampaikan Ki Ageng Pengging meyakinkan, jelas, teratur dan
terus-terang. Tiada yang dirahasiakan, tanpa tedeng aling-aling, tiada pula
selamatan atau sajian kepada Rosul, bahkan kain putih saja tidak diperlukan.
Siapa saja yang datang diberi pengetahuan, ilmu tentang rahasia alam semesta.
Tiada bersyahadat, tiada berdzikir, mengajarkan tentang kenyataan dari ajal.
Hidup di dunia dipakai sebagai contoh perumpamaannya. Di dunia ini kepercayaan
didesak oleh syahadat. Serta dipalsukan dengan perumpamaan ilmu gaib yang
kosong. Berdzikir dan sembahyang dipakai sebagai kedok penipuan, seperti yang
diajarkan para sahabat waliullah.”
Wejangan dan Larangan Syekh Siti
Jenar
2.
Sudah
diketahui secara umum bahwa wejangan (ajaran-ajaran) Syekh Siti Jenar
dirumuskan dalam ajaran Sasahidan. Adapun yang menjadi sesuatu yang harus
dicegah oleh para pengikut dan pengamal ajarannya adalah (Sabda Sasmaya, hlm.
45, 47):
Ø
Tidak
boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk dan jelek.
Ø
Tidak
boleh berbohong.
Ø
Tidak
boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk, saru, tidak enak didengar dan
menyakiti orang.
Ø
Tidak
boleh memakan daging (darat, udara maupun air).
Ø
Tidak
boleh memakan nasi, kecuali terbuat dari bahan jagung.
Ø
Tidak boleh
berkhianat kepada sesama manusia.
Ø
Tidak
boleh minum air yang tidak mengalir.
Ø
Tidak
boleh membuat dengki dan iri hati.
Ø
Tidak
boleh membuat fitnah.
Ø
Tidak
boleh membunuh seluruh isi jagat.
Ø
Tidak
boleh memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak
bersisik atau tidak berbulu.
3.
“Manusia
yang sejati itu ialah ia yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kuasa, serta berdiri mandiri diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma,
sedang Hyang sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengan hampa dan
kehampaan ini meliputi alam semesta.”.
4.
“Adanya
Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu akan
adanya zat dan sifat-sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang Maha
Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa dalam pribadi. Ya Dia ya Saya.
Maka di dalam hati timbul gagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi zat yang
mulia. Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, di manapun sama saja,
hanya manusia yang ada…Allah yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak
ada, jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya Allah yang demikian
itu hanya karena nama saja.” ”…nama Tuhan itu berasal dari manusia.” .
5.
“Manusia
yang melebihi sesamanya, memiliki duapuluh sifat, sehingga dalam hal ini antara
agama Hindu-Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu rupa dan nama
sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi untuk mengerti akan hal ini dan
semuanya sangat mudah dipahami.”
6.
“Manusia
hidup dalam alam dunia ini hanya menghadapi dua masalah yang saling
berpasangan, yaitu baik buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan
mati, Tuhan berhadapan dengan hamba-Nya.”
7.
“Orang
hidup tiada merasakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat buruk
dan jiwa luhur tiada bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang bijaksana,
yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada berusaha mencari kemuliaan
kematian, hidup terserah kehendak orang masing-masing.” .
8.
“Menurut
ajaran Siti jenar dulu, keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudera dan
gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia, udara dan angin yang tersebar di
mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia sebagai
makhluk yang terutama.”< Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II
Asmarandana, 8>.
9.
“Allah
bukan johar manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan bukan rahasia
yang gaib. Syahadat itu kepalsuan.”< Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh II Asmarandana, 9>.
10.
“Akhirat
itu di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya di dunia ini.”.
11.
“Bayi itu
berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa waktu
kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tuapun berkumpul dengan orang-orang
tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama yang sunyi hampa, saling
bohong-membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka bicarakan itu tidak
mereka ketahui.”.
12.
“Saya di
sini membuka hutan, bercocok tanam di huma untuk penghidupan atas kehendak
Hyang Manon, Yang Maha Tahu. Jika tanaman saya memberi hasil jagung, kentang
dan ketela saya makan bersama Hyang Agung, Yang Maha Agung, yang memberi
perintah kepada saya.” “Tatkala saya mencangkul, saya bersama Gusti Tuhan.
Ketika saya mengambil hasil cocok tanaman saya, saya bersama Pengeran Tuhan.
Sekarang ada sesama orang memanggil saya ke Bintara. Di sini ada apa selain
Pangeran dengan nama-Nya, yang serambutpun tiada terpisahkan.” “Jika saya
dipanggil ke Demak, sesungguhnya saya menolak, tidak mau jika tidak bersama
dengan Yang Mengasuh Jiwa Raga Saya. Sekalipun saya mau, akan tetapi Yang Maha
Kuasa tidak mau, bagaimana saya dapat berjalan?” .
13.
“Takdir
tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang Murba Wasesa,
Yang Menguasai segala kejadian.” “Orang mati tiada merasa sakit. Yang merasa
sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga. Apabila jiwa saya selesai
menjalankan tugasnya, dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang tenteram
bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan bahaya
apapun.” .
14.
“Menurut
pendapat saya, yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan
oleh mata. Umpamanya, Demak dari sini tidak tampak, akan tetapi Demak itu ada.
Itulah yang disebut ilmu. Adapun pernyataan yang kedua, di mana tempat hidup
itu, jawabannya, hidup itu uninong ananung. Pertanyaan yang ketiga, siapa yang
mengajak tidur, jawabannya menurut saya, yang mengajak tidur itu tirta
nirmaya.” “Yaitu air hayat kata Arabnya. Air hidup itulah yang dulu dicari Sang
Sena dan disebut air prawita dalam bahasa Hindu-Budha. Adapun tempatnya di
uning unong uninong aning.” < Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh
III Dandanggula, 16-17>.
15.
Sesungguhnyalah,
saya ini orang mati setiap hari kematian saya berkurang. Berapa lamakah kiranya
saya mati di dunia ini. Masih lama lagi hidup saya nanti. Saya tentu kembali
hidup. Mati kaya akan dosa dan siksaan neraka yang banyak saya alami ini. Balik
kalao besok apabila saya sudah hidup, tiada terhitung kebahagiaan yang saya
alami, langgeng untuk selama-lamanya.”
16.
”…yang
mengatakan sekarang hidup, besok disebut mati, itu ucapan santri yang terkutuk,
ma-buk tobat mengharap-harapkan sesuatu yang belum pasti.” .
17.
“Mana ada
Hyang Mahasuci? Baik di dunia, maupun di akhirat sunyi. Yang ada saya pribadi.
Sesungguhnya besok saya hidup seorang diri tanpa kawan! Di situlah Dzatu’llahu
mesra bersatu menjadi saya!”
”Karena saya di dunia ini mati, luar
dalam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku besok, yang di luar kematianku
sekarang.” .
18.
“Orang
yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid Syekh
Siti Jenar, sebab ia sudah paham dan menguasai sebelumnya. Di sini di tahu
rasanya di sana, di sana ia tahu rasanya di sini.”
“…Yang disebut mati itu keinginan
pribadi. Perihal pulangnya Syekh Siti Jenar ke alam kehidupan, saya bermaksud
menyusulnya, hidup bersama dia dalam alam yang tiada terbayangkan. Sebentarlagi
saya akan pulang.” .
1.
“Tiada
bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam keheningan, tersimpan hati
sanubari, terbukalah tirai, tal lain antara sadar dan tidur, ibarat keluar dari
mimpi, menyusui rasa jati.” .