Home » » Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan

Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan

Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan

Bab pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan Syatariyah, yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti Jenar, sudah dijelaskan diatas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan secara rinci. Disini hanya akan menjelaskan lelaku aplikatif terhadap semedi secara Jawa, yang belum terpengaruh oleh agama apapun, yaitu seperti dibawah ini.
Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan bahwa semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa ( hidupnya ) keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya). Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut. Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa (berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun pengalaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian. Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi kebiasaan (pakulinan /adat ). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk, ya betul-betul buruk, dan kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena semua itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (penganggep), belum pasti, tetap hanya menempati kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan kenyataan (real).
Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali hanya untuk mengetahui kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa, yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya ( hawa nafsu dan amarah ), disertai dengan membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan). Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai dengan sidhakep (tangan dilipat didada seperti takbiratul ihram, atau seperti orang meninggal) atau tangan lurus kebawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemduian disebut dengan sidhakep suku(saluku) tunggal. Ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.
Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas, seperti berikut, Napas ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan (ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran napas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan, cetha adalah mantapnya suara dipita suara (cethak), yaitu cethak (diujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, jadi kalau hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai di ubun-ubun, sebab kalau sudah sampai tenggorokan langsung turun lagi.

Apalagi yang disebut daiwan ( dawan ), yang memiliki maksud : mengendalikan keluar masuknya napas yang panjang lagipula disertai dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai dengan masuknya napas, yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai ubun-ubun. Kemudian “Ya” disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari ubun-ubun sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan cethak (pita suara). Adapun hal itu disebut sastra – cetha. Karena ketika mengucapkan dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya dibatin saja, juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan ; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”, penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; [ la illaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan nafas.)
Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya ( menggeh-menggeh / ngos-ngosan ). Adapun kalau sudah sareh (sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik. Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri = tiga, pandu = Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas kita dapat menghampiri jagat besar Yang Maha Suci bertempat didalam suhunan ( yang dimintai ). Yaitulah yang dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti, maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya ( kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu, pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab pengliahatan itu terjadi dari rahsa.
Seperti telah diketahui banyak orang, Syekh Siti Jenar merupakan wali tanah jawa yang paling nyentrik (unique). Ajaran-ajarannya cukup controversial dibandingkan dengan ajaran islam sebagaimana umumnya dipahami masyarakat. Syekh Siti Jenar menempatkan Islam bathini atau hakiki (esoteris) memiliki kedudukan seimbang dengan Islam dzahiri atau syar’I (eksoteris). Bahkan kemudian ada kesan aspek syari’at tidak diperhatikan.
Jelas kesimpulan ini salah. Sebagaimana tampak dalam berbagai wejangan mistik dan ajaran-ajarannya, Syekh Siti Jenar tidak menihilkan syariat. Hanya saja dia juga tidak mau umat Islam terjebak dalam formalisme syariat, sehingga agama tidak lagi memiliki makna utuh bagi kehidupan manusia, baik didunia maupun dialam kehidupan sejati.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah, tuduhan ( yang sebenarnya berasal dari para peniliti Belanda) bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan pertempuran antara Kejawen dan Islam (struggle between Javanism and Islam), dimana ajaran Syekh Siti Jenar dituduh sebagai rekayasa budaya untuk menyerang Islam. Repotnya lagi, analisis negative ini dikembangkan, bahwa corak perlawanan budaya Jawa bersifat struggle form with in ( gerilya dari dalam). Jadi Islamnya orang Jawa dituduh hanya sebagai siasat dan strategi budaya untuk melumpuhkan Islam dari dalam. Tuduhan ini bermula dari artikel G.W.J Drewes dan Th. Pigeaud, yang kemudian menjadi acuan bagi kebanyakan peneliti Islam dan Jawa. Mungkin jika tuduhan itu dialamatkan khususnya pada Serat Darmogandul sebagai basis penelitian, dan lebih lagi pada Serat Gatoloco, agak ada benarnya. Namun jika tuduhan itu dialamatkan kepada ajaran Syekh Siti Jenar (dan ini kesimpulan mereka) sangatlah tidak benar.
Dari segi perkembangan sejarahnya, antara budaya Jawa dan Islam tidak pernah terjadi perbenturan. Bahkan antara keduanya saling mengisi, saling melengkapi membentuk system peradaban baru yang bisa saja disebut sebagai Islam-Jawa. Justru kebudayaan Jawa banyak sekali (dominan) menyerap peradaban Islam, yang secara kreatif disinergikan menjadi budaya Jawa.
Dengan strategi inilah justru kehadiran Islam, yang ternyata sudah banyak dianut masyarakat pedalaman Majapahit diterima oleh masyarakat pedalaman Jawa. Sedikit gejolak dan perbenturan justru terjadi pada masa awal Kerajaan Demak, dikarenakan Kerjaan Demak menerapkan Islam formal berbasis pada aturan ketat fiqih sebagai agama resmi Negara. Seorang intelektual Islam-Jawa, Soebardi membantah sinyalemen para peneliti Belanda, bahwa kalaupun Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya banyak dihukum mati, hal ini bukan karena mereka menjadi musuh Islam. Yang terjadi hanyalah karena mereka menyebarkan ajarannya yang bertentangan dengan paham resmi kerajaan.
Sedangkan dari segi ajarannya, justru banyak yang menunjukan rasa simpati dan bahkan membenarkan pendapat-pendapat Syekh Siti Jenar. Sehingga dalam Serat Centini diceritakan, bahwa setelah tiga hari wafatnya, para wali melihat jenazah Syekh Siti Jenar masih utuh, bagus, dan berbau harum. Pada saat itulah, dari jenazah tersebut terdengar suara ucapan salam dan ungkapan selamat tinggal. Syekh Siti Jenar juga mendoakan para wali dan Sultan agar mendapat barakah dan hidayah sepeninggalnya.
Syekh Siti Jenar menampilkan versi Islam yang sejiwa dengan kebudayaan dan peradaban masyarakat yang berkembang. Oleh karenanya beberapa aspek ajaran Islam, yang di TimurTengah menjadi bahasan pokok keagamaan, oleh Syekh Siti Jenar justru kurang dijadikan materi pokok bagi ajarannya, misalnya tentang hari kebangkitan dan surga serta neraka. Ini bukan berarti bahwa Syekh Siti Jenar menolak kenyataan adanya surga dan neraka, serta keberadaan akhirat.
Namun ada tiga alasan pokok mengapa Syekh Siti Jenar tidak menjadikan keimanan kepada hari akhirat sebagai bagian pokok ajarannya. Pertama, kepercayaan akan adanya surga dan neraka sebagai puncak keimanan hari akhir, bukanlah hal baru bagi agama Islam, sebab semua agama dan kepercayaan kuno juga mengajarkannya. Demikian pula masyarakat Indonesia saat itu, sudah tidak asing lagi dengan berbagai mitologi tentang surga dan neraka. Oleh karenanya kekurang-yakinan masyarakat Jawa pada saat itu terhadap Islam Formal, karena mereka mendapatkan bahwa nasib dan keadaan mereka akan sama saja, baik dunia maupun akhirat, apakah dengan memeluk Islam atau tetap pada kepercayaan lama. Toh Islam juga penuh dengan mitologi eskatologis ( hari akhirat yang tidak dapat dibuktikan). Dalam hal inilah Syekh Siti Jenar memberikan makna baru tentang akhirat dan surga-neraka sebagai yang riil sejak manusia ada di dunia.
Kedua, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa alam akhirat dengan surga dan nerakanya hanyalah mahluk sebagaimana manusia. Sedangkan tempat kembali manusia yang sesungguhnya adalah Allah, darimana ia sebenarnya berasal (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un; sesungguhnya semua berasal dari Allah, dan hanya kepada-Nyalah semua kembali; Allah iku sangkan paraning dhumadi). Manusia yang sudah manunggal (sampurna al-insan al-kamil) akan langsung kembali kepada Allah, tidak melewati alam lintasan yang disebut akhirat. Sebab alam akhirat (sejak dari alam barzakh sampai neraka dan surga) sebenarnya hanyalah alam lintasan, untuk menyempurnakan roh bagi manusia yang saat mengalami kematian masih belum mencapai kasampurnan. Oleh karena itu, segala bentuk kenikmatan fisik itu, termasuk surga sekalipun, bagi Syekh Siti Jenar tetap dianggap sebagai “penderitaan”.
Sebagaimana banyak dikemukakan oleh Al-Qur’an sendiri, konsepsi surga dan neraka masih berkutat pada konteks jisim, yakni pencukupan kenikmatan dan siksaan jasmaniah, dengan fungsi utama menyempurnakan roh manusia. Dari kedua alam lintasan itulah roh disempurnakan lagi tahap demi tahap menuju kesempurnaannya. Sama dengan proses kematiaan yang terjadi pada manusia. Bagi orang yang sudah mencapai ilmu kasampurnan, proses kematiannya telah dipersiapkan sesempurna mungkin, baik waktu, tempat serta bagaimana ia menempuh kematian, dan arah selanjutnya kemana sudah jelas, sesuai dengan “kesepakatan” iradah dan kodrat antara kawula-Gusti.Disini kematian termasuk dalam kodrat Pribadi.
Sementara orang yang belum mencapai ilmu kasampurnan, proses kematiannya “dipaksakan”, yakni Allah mengutus malaikat pencabut nyawa untuk “memaksa” mengeluarkan roh dari jasad orang tersebut. Kematian jenis inilah yang masih mengharuskan orang tersebut menempuh berbagai lintasan-lintasan kehidupan pasca pengalaman kematiannya , guna mencapai kesempurnaan. Kalaupun nantinya memperoleh kesempurnaan, maka Kasampurnan yang diperoleh tentu tidak “sesempurna” manusia yang sejak awalnya sudah mencapai kasampurnan. Kalaupun nantinya memperoleh kesmperunaan, maka kasampurnan yang diperoleh tentu tidak “sesempurna” manusia yang sejak awalnya sudah mencapai kasampurnan.
Ketiga, alam akhirat bukanlah sejenis pengetahuan yang hanya diimani begitu saja. Alam akhirat yang sejati adalah alam kemanunggalan, bukan surga dan neraka. Demikian pula teologi tentang kiamat bagi Syekh Siti Jenar bukanlah penting, sebab kiamat sudah terjadi sejak manusia lahir didunia ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Maka didunia ini pula manusia harus mampu bangkit sebagai pribadi., dengan menemukan sang Ingsun Sejati agar meraih kemanunggalan. Dalam teologi Syekh Siti Jenar, kiamat dan alam akhirat bukanlah hal substansial, tegasnya lagi tidak termasuk dalam rangka rukun keimanan.
Lalu bagaimana Syekh Siti Jenar memahami mengamalkan konsep Rukun Iman dan Rukun Islam?
Sebagaimana sudah diketahui dari ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dalam buku ini, teologi Syekh Siti Jenar bercorak aplikatif dan lintas madzhab atau paham keagamaan tertentu. Teologinya merupakan ramuan dari ajaran keagamaan, Islam terapan, kebudayaan dan peradaban yang berkembang dalam lokus masyarakat tertentu, dan yang lebih penting lagi, agama yang menyejarah berbasis pada pengalaman spiritual yang nyata.
Maka dalam mempelajari dan memahami ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dalam buku inipun, harus bersifat integrative dan sinergis, tidak bisa saling dipisahkan. Mempelajari ilmu dan pengetahuan (belajar), melatih diri, dan mengalami adalah prinsip dasar agama Islam yang sesungguhnya Dalam teologi Syekh Siti Jenar, Rukun Islam juga dipahami dari sudut ilmiah, amaliah, dan empiric. Antara nalar rasional, aplikasi perbuatan, dan spiritualitas menyatu-padu dalam satu pribadi.
Syahadat memiliki substansi watak temen (bersungguh-sungguh, konsisten, disiplin, beretos tinggi). Ukuran utamanya adalah pada pembicaraannya, yaitu nuhoni ( selalu sesuai, benar, jujur, tidak pernah menyimpang) dalam hal pembicaraannya. Itulah yang disebut tetapnya syahadat. Antara lisan, hati, dan pikiran manunggal. Tidak fasik, munafik, berlainan lisan dan hati. Prinsipnya jujur dan benar.
Puasa adalah laku nrima (menerima dengan penuh kerelaan). Segala sesuatu yang menjadi sebab munculnya keinginan tidak menggoyahkan mental dan moral, serta keyakinannya.
Zakat adalah laku utama, terutama kesabaran dalam hal keinginan yang muncul dari mata, atau kepuasan pribadi. Dengan demikian, apa yang ada dalam dirinya siap “hilang” untuk kepentingan kemanusiaan dan masyarakat.
Shalat adalah olah batin, meredam segenap pancaindera, daya rohaninya selalu menghadap Allah. Segala aktivitasnya hanya berorientasi pada tekad lillahai ta’ala, sebagai aplikasi dalam menempuh kodrat hidup.

Dan akhirnya adalah Haji, yang hakikatnya terletak pada penyesalan serta menepati janji, baik janji Ilahiyah (untuk manunggal) dan janji kemanusiaan (mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan semesta, sebagai khalifatullah, wujud nyata wakil Allah; sebagai “Allah” yang hadir langsung dibumi).


Sementara aplikasi Rukun Iman dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut.

Keimanan kepada allah adalah menepati jalan hidup jasad fisik sebagai kodrat Pribadi, dan merasa bahwa kehadiran manusia didunia ini tidak lain menjadi sifat Allah yang sejati. Manusia sempurna adalah pengejawantahan Allah di dunia (khalifatullah). Oleh karenanya harus selalu menjaga kesucian jasad, batin suci, bersih, dan selalu terjaga dari nafsu. Dan segala perilaku selalu berarah pada keutamaan.

Keimanan kepada malaikat adalah penjagaan atas pengelihatan, pembicaraan, perasaan, pengrasa bau, pendengaran dan segala panca indera. Jadi manusia harus hati-hati dalam melakukan segala bentuk aktivitas, agar tidak menyimpang dari kebenaran dan kemanfaatan.

Malaikat Jibril adalah symbol dari kalam (pembicaraan yang benar); Mikail pada indera pembau; Israfil pada indera penglihatan; Izrailpada pendengaran dan perasaan; Haruman pada nyawa; Munkar dan Nakir pada nafsu; Kiraman dan Katibin pada akal-budi. Dengan menjaga seluruh aspek itulah seseorang baru bisa dikatakan beriman kepada malaikat Allah.

Kepercayaan kepada Rasul dan Nabi (utusan) sebenarnya adalah menerapkan ketajaman perasaan (rahsa) yang selalu diasah. Kuncinya adalah mengendalikan perasaan dan mengheningkan cipta, sehingga dapat connect (menyambung) dan manunggal dengan Allah. Itulah hakikat keimanan kepada utusan Allah. Ini berhubungan erat dengan keimanan kepada Kitabullah, yaitu memahami dan menjaga keadaan nyawa, awas dan waspada dalam perjalanan hidup, selalu ingat dan mengerti asal mula kejadian manusia, batin selalu dzikir kepada Allah, dan diupayakan selalu “berbicara” dengan Allah.
Keimanan kepada nasib baik dan buruk adalah kemampuan menjalani kodrat hidup didunia. Manusia harus mengerti bahwa terwujudnya nafsu berasal dari pengelolaan dan pengolahan budi dan pribadi. Oleh karenanya manusia harus selalu pasrah dan menyesal pada dzat manusia pribadi, akan keberadaannya dialam kematian didunia ini. Segala langkah hidupnya hanya diarahkan pada proses menuju kemanunggalan.
Kemudian keimanan kepada hari akhir, pada hakikatnya mengetahui dan mempersiapkan diri untuk titis pati (wafat dengan husnul khatimah). Kematian sebenarnya berdasarkan pada kesiapan dan kesediaan dzat manusia pribadi. Dalam hal ini, tekad terhadap kenyataan kemanunggalan menjadi kunci bagi pengetahuan dan pengalaman kematian, yang dengan kematian itulah, gerbang kehidupan abadi-sejati, dan segala kasampurnan kehidupan diraih. Uninong, aning, unong. Manusia yang telah mencapai kesatuan dengan Tuhan, berada dalam kebahagiaan hidup sejati yang abadi, tidak akan mengalami kerusakan lagi.
Dari berbagai hal yang telah dikemukakan dalam buku ini, nampak bahwa ajaran Manunggaling Kawula-Gusti bukan semata ajaran mistik. Terbukti dari aplikasi ajaran tersebut, baik oleh Syekh Siti Jenar sendiri, ataupun oleh murid dan pengikutnya, mereka telah mampu menjadi manusia-manusia yang shalih dalam hal spiritualitas religius, bermanfaat secara social, menjadi motor bagi peradaban pada zamannya, memiliki etos kerja yang tinggi serta produktif, serta aktif pula dalam gerakan kemanusiaan melawan segala bentuk kedzaliman.
Sering kita membaca dalam berbagai analisis mengenai Syekh Siti Jenar, bahwa wali Tanah Jawa ini, hanyalah merepresentasikan ajaran Manshur al-Hallaj dari Baghdad. Bahkan banyak analisis yang menyebutkan bahwa sejarah Syekh Siti Jenar tidak lain cuplikan kisah al-Hallaj yang diberi warna Islam-Jawa. Jelas analisis ini perlu diluruskan.
Memang ada sedikit kesamaan antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sebagaimana disebutkan sendiri oleh Syekh Siti Jenar bahwa tarekatnya,yaitu al-Akmaliyah, Substansi ajarannya pernah diajarkan secara terbuka oleh Al-Hallaj dalam bentuk tarekat al-Anfusiyah. Akan tetapi kesamaan ajaran ini sebatas pada kesamaan jenis ajaran wujudiyahnya. Sama halnya substansi ajaran dengan al-Syuhrawardi al-Maqtul, ‘Aynul Quddat al-Hamadani, Ibnu ‘Arabi, al-Jilli, bahkan dengan Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Sumatrani. Dalam beberapa hal juga terdapat substansi Karkhi, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jaylani, serta Junaid al-Baghdadi. Tentu saja kalau kesamaan ajaran dijadikan dasar duplikasi peristiwa bahwa keduanya sama sama dibunuh, dan dituduh melawan pemerintah yang berkuasa, disamping factor tuduhan ajaran yang sesat. Bukan hanya al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar yang mengalami peristiwa itu, toh Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani juga dibunuh, dan dituduh terlibat persekongkolan politik, serta dituduh ajarannya sesat. Sementara dari berbagai fakta sejarah dan data kepustakaan jelas membuktikan bahwa mereka adalah manusia sejarah yang pernah hadir dalam kurun waktu dan tempat yang berbeda. Adapun nasib Hamzah Fansuri, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Abu Yazid al-Bushtami dan beberapa sufi wujudiyah yang lain, memiliki nasib duniawi “yang agak lebih baik”, karena tidak dijatuhi vonis hukuman mati, karena memang tidak sedang terjadi pertentangan politik yang sengit.
Dalam hal kesamaan nasib tragis antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, juga terdapat perbedaan dalam sebabnya. Keduanya sama-sama dibunuh karena alasan politis. Bedanya, Syekh Siti Jenar lebih mendekati pada pertimbangan dasar demi kepentingan kerajaan (dalam hal ini Kesultanan Demak), sementara al-Hallaj juga sangat dekat dengan penguasa.
Terdapat banyak hal yang khusus pada Syekh Siti Jenar. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti, bukan semata-mata bentuk kefana’an dan juga bukan semata-mata ittihad, yang lebih bersifat pasif, sebab keaktifan hanya ada pada sisi lahutiyah-nya (unsure ke-Tuhanan), sementara unsur nasutiyah pasif sebagai yang ketempatan. Sedangkan dalam Manunggaling Kawula Gusti sama-sama aktif antara kawulan dengan Gustinya. Jadi konsep “raji’un” (kembalinya manusia kepada Allah) bersifat final dan total. Dan secara terbuka dengan analisis yang tajam, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat, pengalaman para auliya’ terdahulu, serta pengalaman Pribadinya. Pengalaman dalam moment Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran Syekh Siti Jenar betul-betul menjadi bukti nyata bagi adanya al-halawat al-iman (lezat-manis-nya rasa buah keimanan), sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Muhammad.
Dalam hal masalah ajaran inilah, para ahli sepakat, bahwa dalam kesamaan ajaran antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar sangat jarang dijumpai. Termasuk Zoetmulder pun memiliki kesimpulan bahwa dalam ajaran Syekh Siti Jenar tidak terdapat bekas-bekas dari ajaran otentik al-Hallaj. Tentu saja kesimpulan ini tidak sepenuhnya benar, sebab dalam hal dasar mistik, yakni tauhid al-wujud, memiliki fondasi spiritual yang sama.
Hanya saja focus al-Hallaj hanya pada aktivitas mistik atau kesufiannya (termasuk program penyebaran ajarannya yang sama-sama miyak warana sebagaimana Syekh Siti Jenar ). Sementara Syekh Siti Jenar, disamping aktivitas kesufian, ia juga sangat menaruh perhatian pada pendidikan keislaman yang utuh, sehingga ia merasa perlu membuat dua “pesantren”, yang satu di Giri Amparan Jati sebagai pusat pengajaran dalam ilmu-ilmu pengetahuan Islam, sedang yang satunya lagi Paguron Lemah Abang (juga disebut dengan Krendhasawa) sebagai pusat pengajaran tasawuf Manunggaling Kawula Gusti. Paguron Lemah Abang ini kemudian diperluas melalui cabang-cabang Paguron dan Pedukuhan Lemah Abang diberbagai daerah se-Jawa.
Syekh Siti Jenar juga sangat dikenal disamping keterbenamaannya dalam kecintaan dan kemanunggalan kepada Ilahi sebagai seseorang yang mandiri, menjamin kebebasan akal dan ilmu, memiliki solidaritas tinggi terhadap agama dan kepercayaan lain, berjiwa inklusif dalam keagamaan dan spiritualitas, dan sebagai motor penggerak bagi kesadaran social, budaya, dan politik bagi masyarakat. Syekh Siti Jenar mempelopori gerakan masyarakat untuk bangkit dengan segenap hak-haknya sebagai manusia, serta bangkit daya spiritualnya, yang kemudian diabdikan bagi kepentingan kemanusiaan dan semesta, dalam rangka mengejawantahkan dirinya sebagai khalifatullah, tangan kanan Allah yang menyejarah di bumi.
Maka wajar jika dikemudian hari, Syekh Siti Jenar menjadi wali yang paling digemari oleh rakyat, yang sampai hari ini, riwayatnya serta ajaran – ajarannya masih tetap hidup ditengah masyrakat Islam (khususnya Islam-Jawa di Indonesia). Dan yang terkesan istimewa adalah, bahwa studi mistik jawa baru dianggap tuntas jika sudah menyentuh ajaran Syekh Siti Jenar. Karena memang puncak spiritualitas Islam-Jawa berada pada ajaran Syekh Siti Jenar.
            Jadi benarlah bahwa Syekh Siti Jenar merupakan guru mistik yang brilian. Tokoh mistik sejati dan wali yang kontekstual. Ia menyampaikan ajaran Islam secara empiric, realitas, dan mampu menggugah bangkitnya kesadaran Pribadi, mengoptimalkan seluruh daya hidup, untuk menjalani kodrat didunia secara tuntas, sehingga ketika mati tinggal menuju kemanunggalan dengan Gusti, tanpa melalui lintasan barzakh, mahsyar, neraka dan surga.
Kejeniusannya juga dibuktikan melalui ajaran-ajarannya yang dituangkan dalam beberapa karya tulis, diantaranya yang disebutkan langsung oleh Syekh Siti Jenar adalah Kitab Balai Mubarak, Talmisan, dana Musakhaf. Sayangnya warisannya dalam bentuk karya tulis sampai saat ini belum berhasil ditemukan. Ini berhubungan dengan larangan atas ajaran-ajarannya sejadk abad ke-16, yaitu sejak dia dijatuhi hukuman mati, sehingga tampatknya kitab-kitab tersebut ikut dimusnahkan.