Makna Ihsan
37.
“Itulah
yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas
kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat
yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui
ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan
menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat
Muhammad yg kudus.”
38.
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat
sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas
kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha
indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA.
Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg
terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari
teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs.
Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih
Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan
menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg
akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak
mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya
Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn
kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan
sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
39.
“Bonang,
kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya
merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya.
Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi
perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang
lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa
Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia
bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg
bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi
manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan
membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang
Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki
kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya
pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas
eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha
Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas
kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar.
Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh
Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke
dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
40.
“Hyang
Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya
mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan
keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus,
menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat
dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai
tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses
wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka
manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan
keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia,
berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi
terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya
keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah),
bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik,
rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi
Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai
sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan
menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan
kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin
mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu
saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
41.
“Sabda
sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba
amisesa.” .
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas
sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi
yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya
adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah
Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber
pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di
kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu
diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut
mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa
mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul,
yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah
terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian
dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah
dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai
kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang
dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
42.
“Hidup itu
bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan
barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah
dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak
dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan
dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan
hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali
tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak
kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan
kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama
dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan
perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik
pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman
hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa
dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang Maha
Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya
harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak
terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat.
Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan
sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan
nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
43.
“Apakah
tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak
dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali
setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini
baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat
sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
.
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar
tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai
makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu
merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan,
tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan
Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik,
“Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi
Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi
penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan
alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak
lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia
terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat
Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang
dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan
tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu
saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan
kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi,
manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an
dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan
oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke
mana af’al itu dipancarkan.
44.
“Segala
sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al
(perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya
adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa
yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami
dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah
terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada
makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa
Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang
menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna
mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya
melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar
kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz
ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang
melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada
hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi
al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi,
yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.”
45.
Menurut
Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya
orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui
makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah
disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik
al-Fatihah Syekh Siti Jenar. .
Bis..............................
kedudukannya............. ubun-ubun
Millah...........................kedudukannya.....
.........rasa
Al-Rahman-al-Rahim.......kedudukannya...............penglihatan
(lahir batin)
Al-hamdu.....................kedudukannya............
...hidupmu (manusia)
Lillahi...........................kedudukannya....
..........cahaya
Rabbil-‘alamin................kedudukannya..............nyawa
dan napas
Al-Rahman al-Rahim.......kedudukannya...............leher
dan jakun
Maliki..........................kedudukannya......
.........dada
Yaumiddin....................kedudukannya.........
......jantung (hati)
Iyyaka........................kedudukannya........
.......hidung
Na’budu.......................kedudukannya........
.......perut
Waiyyaka
nasta’in.........kedudukannya................dua bahu
Ihdinash......................kedudukannya........
........sentil (pita suara)
Shiratal.......................kedudukannya.......
.........lidah
Mustaqim.....................kedudukannya.........
......tulang punggung (ula-ula)
Shiratalladzina..............kedudukannya.........
.......dua ketiak
An’amta.......................kedudukannya........
........budi manusia
‘alaihim........................kedudukannya......
.........tiangnya (pancering) hati
Ghairil.........................kedudukannya......
..........bungkusnya nurani
Maghdlubi....................kedudukannya.........
.......rempela/empedu
‘alaihim........................kedudukannya......
..........dua betis
Waladhdhallin...............kedudukannya..........
......mulut dan perut (panedha)
Amin...........................kedudukannya.......
.........penerima.
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap
mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia
sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal
surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi
tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam
masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi
kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
46.
“Di di
dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan
bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak
berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti
itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari
mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama
saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang
tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau
belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa
kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan
aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau
tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama
sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah
orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam
kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada
kehidupan.” .
Syekh Siti Jenar menyatakan secara
tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya
sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan
konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku
dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap ajaran
Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia
ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami
kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan.
Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan
wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan kebenaran
sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
47.
“Syekh
Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat
Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup
itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan
barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan
membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat
dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi, pikiran,
angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai
sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur,
dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki,
bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan
jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan,
sehingga menodai nama dan citranya.” .
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan
dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma,
mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang dilihat dan melihat
yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu tunggal. Nah, buyung yang
sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” .
Ini adalah pandangan Syekh Siti
Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar, sumber
ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar, dan
intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan pedoman
pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang
betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan
pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad
bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam secara
gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali hanya
untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan
Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam memahami
konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at tidak bisa
dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru syafa’at
Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad,
me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah
dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk
dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk
menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses
Manunggaling Kawula-Gusti.
48.
“Bukan
kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan,
bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai
menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala
penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi
baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan
karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia.
Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh
Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks
kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan
manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural
(alami), tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka
ketidakmauannya memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik
Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola
alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap
orang harus memiliki dan diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus
dimiliki secara privat dan ada juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari
wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam
semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam
yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala
sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama
Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan
nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang
sesungguhnya. New York. : Ballatine, 1993>. Maka memang nama itu
perlu, namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk memperdebatkan nama.