Praktek shalat Tarek Syekh Amongraga
“Guna mencapai keadaan ekstasi
Amongraga melakukan shalat Sunat Awabin dengan enam raka'at dan tiga salam.
Sesudah itu olah kiparat wawajuh (pemulihan dan terarah kepada Tuhan) dengan
dua salam. Sesudah itu ia duduk tidak bergerak. Sambil mempersiapkan diri untuk
manunggal dengan Tuhan. Ia melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah,
Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya. Ia duduk tersimpuh, hati
sanubari dan pernapasan dalam keselarasan. Kemudian tiba-tiba ia mengawali
dzikirnya dengan kata-kata, la mujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah).
Dzat yang niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiannya, dasar
penyangkalan dan pengakuan. Dengan itulah hatinya diselaraskan. Kepalanya mulai
bergerak memutar, silih berganti menyanngkal dan mengakui. Pada lingkaran “lam”
terakhir kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan “ilalah”
kepalanya bergerak, ke kanan ke atas ke arah bahunya. Pada saat ia berkata
“ila” inderanya memsuki penyangkalan tersembunnyi “ilalah” ialah pengakuan gaib
di sebelah kiri dadanya. Demikian “nakirah” menjadi paripurna. Kata-kata “la
ilaha ilallahu” didaraskannya 50 kali dalam satu pernapasan. Kemudian 300 kali
“ilalah” pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar, lalu “hu, hu” 1000 kali
dalam satu pernapasan panjang. Demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa
rintangan, dengan perantaraan dzikir yang fungsinya hanya sebagai sarana.
Suara-suara yang dikeluarkannya tidak ada arti lagi. Segalanya diperbolehkan,
entah itu aa, ii, uu atau lain sebagainya, terserah apa saja. Kemudian
suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara orang-orang (yang tiba-tiba
hilang seketika). Pada saat yang sama “bata bata dan bentuk” terlepas, artinya
badan dan budi mesing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mekrad
(mi'raj), terlebur dalam dzat ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang
glodog.”
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah,
kosong. Kalbunya perupakan ketiadaan sejati, kosong, sepi. Tak ada daratan,
maupun laut, terang dan gelap tiada lagi. Yang ada hanya itulah yang meliputi
batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai
kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan
dan sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi. Sesudah tarakki menyusullah
tanazzu, ia turun dari alam lahir dan batin (wahyu jatmika), ia memandang lagi
tetapi bukan dengan matanya, Dzat Yang Mahaluhur. Di sana terdapat empat hal,
sifat jalal yang gaib, Keindahan, Kesempurnaan dan Kekuasaan (jamal, kamal,
kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua
jenis, yaitu Gusti dan kawula.”
“Adapun hakikat Gusti itu ialah
jalal, kamal, dan jamal, adapun siat-sifat kawula itu ialah ahadiyah, wahda,
wahidiya, alam arwah, (alam) agsam, alam mitsal, dan insan kamil. Perbedaan
antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu,
kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu
sejati. Sesudah ekstasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di
atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketka kembali dalam
keadaan makhluk dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba
(kawula).Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernapas panjang
sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan
doa syukur.”
Pertanyaan Hakikat Hidup Warisan
Syekh Siti Jenar
Apa sebab kamu mengenakan hidup?
Asal muka kehidupan itu dari mana/apa? Sebelum berjuta-juta tahun, sekarang
berwujud hidup ini. Dari siapakah hidup ini?
Pertanyaan yang kedua. Kamu
dikatakan hidup, mengenakan tidur. Siapa yang mengajak tidur? Selama kamu tidur
terkadang kamu bermimpi kadangkala tidak.
Jawablah pertanyaan ini dengan
jelas.
Pertanyaan yang ketiga, Apa sebab
orang mati? Dalam alam kematian ada apa?
Pertanyaan yang keempat. Apabila
kamu telah mati, apakah besok kamu akan kembali menjadi bayi, apakah tetap di
sana saja?
Aji Pameling (Ilmu Keheningan) Syekh
Siti Jenar
Maksud dan pengertian Semedi atau
Laku Hening. Maksud dari aji adalah ratu/raja, pameleng adalah pasamaden (laku
semedi, hening), memiliki pengharapan sebagai tanda keinginan yg paling luhur.
Adapun jenis perbuatannya disebut dengan manekung, pujabrata, mesu budi, mesu
cipta, mengheningkan, atau meluhurkan pandangan, matiraga dan sejenisnya.
Tempat yang digunakan untuk
melaksanakan laku tersebut adalah panepen, penekung, sanggar pemujan,
pamurcitan, pahoman, paheningan dan lain-lain. Sedangkan uraian pengetahuan
disebut daiwan, dawan, tirta-amerta, tirtakamandhanu, tirtanirwala, mahosadi,
kawasanan, kawaspadaan, kawicaksanaan, sastracetha, atau sastrajendrayuningrat
pangriwating-diyu dan sebagainya.
Adapun kegunaan pengetahuan dan
lelaku di atas, perlu digunakan sebagai sarana menyembah untuk mendapatkan
kawilujengan (keselamatan disertai kesejahteraan, kedamaian, dan ketentraman),
sebab dengan begitu dapat melaksanakan segala sesuatu perbuatan yang baik,
ataupun sebagai sarana ketika kita memiliki keinginan mewujudkan anugerah hidup
kita pribadi (Pangeran), juga meminta apapun yang lumrah bisa dilaksanakan
sesuai dengan kemampuan kita melaksanakannya dengan tidak meninggalkan
kehati-hatian.