Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua
macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek
adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari
pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup
melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan
adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu
shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat,
teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan , mungkin
efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati,
nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab
“tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih
mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya
al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang
dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju
kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar
melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan
kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan
ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget….))
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget….))
Pelaksanaan shalat tarek bisa saja
diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga
dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya.
Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah,
tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di
samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut,
tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat,
ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu
untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan
ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan
surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya
dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa
saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian
jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain
lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh
hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan
qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna.
Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa
digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah
menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini,
sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah
manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin,
berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan
Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di
atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada
diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita
sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika
dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian
Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
1.
Shalat
Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing
paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling,
pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan,
shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam
sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat
kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap
mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat
Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku
kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing
sirku.”
(Aku berniat shalat, sir
[rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya,
“Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya
Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah,
darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri
Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes
kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
32.
Shalat
Luhur
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe
ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa,
sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat
yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam
sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan
terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap mengerti akan Tuhanku).
Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang
shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh
ing osikku.”
(Aku berniat shalat, yang shalat
bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya
rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri
Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
33.
Shalat
‘Ashar
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing
poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning
nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat, roh keabadian
yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati
ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat
sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di
dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya
dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat,
angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep
langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat shalat, angan-anganku
yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap
dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya
Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya
rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri
Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
34. Shalat Maghrib
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana
ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning
nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, rohani yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang menempati ujung
telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat
sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di
dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil,
memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat,
tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng
weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang
shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan
abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya,
“Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya
rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri
Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes
kena Pangeranku, lah wes nyata ing
Allahku”, (Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
35. Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing
napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa
ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing
yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang
menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti
terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya
dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat,
karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng
weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku
yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap
dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya
Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya
rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri
Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak
adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat
semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes
kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
36.
“Inilah
shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama),
dengan waktu tengah malam tepat.
a.
Inilah
niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat
kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b.
Membaca
surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku
sang pemilik Sukma).
c.
Melakukan
ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d.
Sujud
dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e.
Duduk di
antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena pati” (kehidupan
abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f.
Sujud lagi
dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g.
Tahiyat
dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h.
Membaca
syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan
Sukma).
i.
Salam
dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak
terkena kema-tian.
j.
Membaca
doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati” (Allahumma
papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati).
k.
Kemudian
berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun”
(ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun].
Dalam Islam dikenal shalat satu
raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir malam
dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam
ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau
shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal
tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta
ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam
Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat
selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa
Arab).
37.
“Shalat
lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut
kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan
segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa
sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan
merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan
diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam
tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing
pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan
benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah
esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk
menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja
masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
38.
“Pada
waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya
melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan
keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya
inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan
tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh
Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan
Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut
sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas,
dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di
bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya
orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri
esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq
al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan
shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang
melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan
pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail.
Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam
Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan
adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah
shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal
yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan
setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan
diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5)
menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang
disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa
yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam,
konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar
pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran
yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah
dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan
Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin
manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan.
Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan
meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh
Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan
menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri.