Pembantaian Terhadap Penganut Ajaran
Syekh Siti Jenar
Agar tidak terjadi hal yang
demikian, maka Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar serta murid dan sahabatnya
dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal lehernya, dengan perintah Sultan Demak.
Demikian juga Pangeran Panggung tidak ketinggalan, dipidana dimasukan kedalam
bara api hidup-hidup di alun-alun Demak, sebagai peringatan agar msyarakat
merasa takut, dan kalau sudah takut mereka mau membuang ajaran Syekh Siti
Jenar. Diceritakan Pangeran Panggung tidak mempan oleh amuk api, dan kemudian
melompat keluar dari dalam api, meninggalkan Demak. Sultan Bintara dan segenap
para wali terbengong-bengong dan terkagum-kagum serta terpengaruh kewibawaan
serta kesaktian Sunan Panggung, hanya kamitenggengen ( terdiam) seperti tugu.
Sesudah sementara waktu, Pangeran Panggung sudah jauh, Sultan dan para wali
baru ingat jika Sunan Panggung sudah pergi dari tempat pidana, serta merasa kalah.
Disertai dengan banyak prajurit Sunan Geseng atau Ki Cakrajaya pergi menyusul
sunan Panggung. Sultan Demak tidak mampu menahan marah, dan melampiaskan
kemarahannya, sahabat serta murid-murid Syekh Siti Jenar yang bisa ditangkap
dibantai. Dilakukan pengejaran besar-besaran terhadap semua orang yang
dicurigai pernah mengenyam ajaran Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikut yang
tidak tertangkap pergi meninggalkan Demak mencari selamat.
Para sahabat dan murid yang masih
hidup, masih tetap melestarikan ajaran dan eprguruan Syekh siti Jenar tentang
pengetahuan pasamaden, tetapi kemudian dibalut dengan pengajaran syariat Islam,
agar tidak diganggu gugat oleh para wali yang menjadi alat Negara.
Ajaran Pasamaden ( Olah Hening )
Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai
berikut. Pengajaran pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut shalat daim,
dirangkapkan dengan pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang
lain-lainnya. Pengajaran shalat daim itu disebagian kalangan
disebut wiridan (tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku
pengajarannya disebut tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya,
sebelum murid menerima pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan
dzikir dan wirid membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden
kemudian terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
Pengajaran
pasamaden atau wewiridan dari para sabahat Syekh Siti Jenar, yang disertai
dengan pengajaran syara’ rukun agama Islam. Pengajaran tadi sampai sekarang ini
sudah meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang, yang
mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang diberi nama (tarekat) naksabandiyah
atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan tersebut berasal dari
ulama di jabalkuber ( Hijaz, Mekkah). Kemudian para Kiai dan Guru tadi melaksanakan
pengetahuan pasamaden menurut ajaran Jawa yang berasal dari pengajaran Syekh
Siti Jenar. Atau juga para guru dan kiai tadi senang memberikan
sebutan Kiniyai, yang mengandung maksud, guru yang mengajarkan ilmu setan,
Sedang nama Kiai, adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.
2.
Pengajaran
pasamaden menurut Jawa, buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya dipancarkan
dari pengetahuan Syekh Siti Jenar ( yang kemudian diberikan peraban/sebutan
klenik), yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak pada
pengelolaan perwatakan lima hal, yaitu:`
a.
Setya
Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen ( bersungguh-sungguh) dan jujur.
b.
Teguh-sentausa,
adil dalam segala hal, bertanggung jawab dan tidak berkhianat
c.
Benar
dalam segala perilaku dan perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada sesama,
tidak menonjolkan atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.
d.
Pandai
dalam segala pengetahuan, lebih-lebih pandai dalam membuat enak perasaan
sesama, ataupun juga pandai menahan dan mengendalikan rasa amarah dan jengkelnya
perasaan pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali (
kalau sudah punya dan sudah enak lupa akan asalnya ), hanya karena pengaruh
harta benda yang gemerlapan.
e.
Susila
anor-raga, selalu memelihara tata karma, mengendalikan akibat penglihatan ( apa
yang dilihat ) dan pengaruh pendengaran ( apa yang didengar ) kepada pihak yang
terkena.
Lelaku lima hal tadi harus
dilaksanakan beserta iringan puja-brata dengan melaksanakan laku semedi,
yaitu amesu ciptamengheningkan teropong penglihatan ( mubasyirah ).
Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa, bab mengenai pengetahuan pasamaden
serta lelaku lima perkara diatas harus diajarkan kepada semua orang, tua muda
tanpa memilih rendah tingginya derajat orang. Karena itu dengan sebab
mustikanya pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi tetap
semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang sudah disebutkan diatas. Oleh
karena kita tinggal disuasana ketentraman, sedangkan keadaan tentram
menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau tidak
demikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung derita, papa dan
terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia, karena kesalahan dan terkhianati
oleh perasaan kita pribadi.